Putin Makin Getol 'Buang' Dolar, Negara Lain Nyusul?

Rusia dipojokkan oleh negara-negara Barat akibat perang yang dilakukan ke Ukraina. Beragam sanksi pun diberikan ke negara yang dipimpin Vladimir Putin ini. Mulai dari sanksi perdagangan, keuangan, hingga ke individual.

Dari sektor keuangan, setidaknya tujuh bank dan institusi Rusia dikeluarkan dari jejaring informasi perbankan internasional yang dikenal sebagai SWIFT (Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication), yakni semacam platform jejaring sosial bagi bank.

Selain akan memutus SWIFT dari Rusia, Amerika Serikat dan sekutunya juga membekukan cadangan devisa bank sentral Rusia yang ditempatkan di luar negeri. Sebelum perang Rusia-Ukraina dimulai akhir Februari lalu, cadangan devisa Rusia mencapai US$ 643 miliar, sekitar setengahnya ditempatkan di luar negeri.

Langkah Amerika Serikat cs tersebut membuat Presiden Rusia Rusia Vladimir Putin semakin agresif dalam 'membuang' dolar AS. Penggunaan dolar AS sebagai transaksi pembayaran dikurangi, bahkan Putin memintah pembelian gas alam maupun minyak mentah dan produk Rusia lainnya dibayar menggunakan rubel.

Bank sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR) juga berencana semakin mengurangi penggunaan dolar AS dan euro. Sebaliknya, transaksi akan lebih banyak menggunakan mata uang rubel dan mata uang negara-negara yang dianggap bersahabat dengan Rusia.

Hal tersebut tertuang dalam Financial Stability Review CBR yang dirilis 31 Mei lalu. Reuters melaporkan, dalam dokumen tersebut berisi rencana penerapan suku bunga negatif kepada entitas legal yang memiliki deposit di bank dalam bentuk dolar AS dan euro.

Dengan penerapan suku bunga negatif tersebut, artinya entitas yang menyimpan dolar AS dan euro di bank Rusia bukannya mendapat bunga, tapi harus membayar bunga ke bank tersebut.

"Saya pikir itu perlu dilakukan untuk memberikan menstimulasi dunia usaha Rusia menggunakan rubel dan terus melanjutkan proses de-dolarisasi," kata salah satu pejabat parlemen Rusia dalam wawancara dengan Frank Media, sebagaimana dikutip Reuters.

Wakil Gubernur CBR, Ksenia Yudaeva juga mengkonfirmasi jika suku bunga negatif tidak akan diterapkan untuk individu yang memiliki simpanan dolar AS.

Langkah Rusia mengurangi penggunaan dolar AS sebenarnya sudah dilakukan sejak 2014 lalu, saat diberi sanksi akibat mencaplok wilayahKrimea, Ukraina. Sejak saat itu cadangan devisa Rusia dalam bentuk dolar AS terus berkurang. Rusia menyebut Amerika Serikat menggunakan dolar AS sebagai senjata untuk menghukum atau memberikan sanksi bagi negara tertentu.

Melansir Kitco, pada 1 Januari 2022, data menunjukkan CBR memangkas porsi cadangan devisanya dalam bentuk dolar AS menjadi 10,9%, berkurang nyaris separuh dari tahun sebelumnya sebesar 21,2%.

Cadangan devisa dalam bentuk yuan mengalami peningkatan dari 12,8% menjadi 17,1%, dan dalam bentuk euro dari 29% naik menjadi 33,9%.

Peran vital dolar AS di dunia finansial global membuat Amerika Serikat disebut mendapat 'hak istimewa setinggi langit" oleh Menteri Keuangan Prancis, Valéry Giscard d'Estaing pada tahun 1965. Bagaimana tidak, mayoritas perdagangan internasional menggunakan dolar AS, harga komoditas juga mayoritas dipatok dengan greenback.

Dolar AS yang sangat dominan di dunia ini memberikan keuntungan yang besar bagi Amerika Serikat. Obligasi pemerintah AS akan selalu ada peminatnya, bahkan bisa diterbitkan dengan kupon yang rendah.

Aliran modal yang besar ke Amerika Serikat bisa menambal defisit transaksi berjalan dan anggaran secara terus menerus. Berdasarkan data dari Atlantic Council yang mengutip data dari bank sentral AS (Federal Reserve/The) pada periode 1999-2019, penggunaan dolar AS dalam transaksi internasional di wilayah Amerika Utara dan Selatan mencapai 96,4%. Kemudian di Asia-Pasifik nilainya mencapai 74%.

Porsi penggunaan dolar AS hanya lebih kecil di Eropa yakni 23,1% saja. Maklum saja, Eropa memiliki mata uang tunggal yakni euro yang kontribusinya terhadap perdagangan ekspor impor di Eropa mencapai 66,1%. Di sisa dunia lainnya, penggunaan dolar AS mencapai 79,1%. Belum lagi melihat porsinya di cadangan devisa global yang hampir 60%, terlihat jelas bagaimana dominasi dolar AS di dunia finansial.

Dengan vitalnya posisi dolar AS tersebut, banyak yang mengatakan Amerika Serikat menggunakannya sebagai senjata untuk menekan negara lain. Sanksi yang diberikan ke Rusia, dan begitu juga negara-negara lain dalam beberapa dekade ke belakang menjadi indikasinya.

Dengan dikeluarkannya Rusia dari SWIFT, dan cadangan devisa yang dibekukan, Bank sentral Rusia tentunya kesulitan memenuhi kebutuhan valuta asing khususnya dolar AS di dalam negeri. Kelangkaan dolar AS tersebut membuat mata uang jeblok, lihat saja bagaimana rubel yang sempat merosot hingga lebih dari 100% ke rekor terlemah sepanjang sejarah RUB 150/US$. 

Jebloknya nilai tukar akan berdampak pada meroketnya inflasi. Selain itu dari sisi perdagangan importir akan kesulitan membayar kepada pemasok, begitu juga eksportir kesulitan menjual produknya.

Perekonomian suatu negara akan mengalami gonjang-ganjing akibat minimnya supply dolar AS.

Hal ini membuat beberapa negara mempertimbangkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS. Dominasi dolar AS diperkirakan perlahan mulai tergerus.

Bank investasi asal AS, Goldman Sachs dalam sebuah catatan yang dirilis akhir Maret lalu menyatakan dolar AS akan menghadapi tantangan penurunan dominasinya di finansial global, sama seperti poundsterling di awal 1900an.

Poundsterling Inggris sebelumnya merupakan mata uang yang menjadi cadangan devisa terbesar, sebelum akhirnya disalip dolar AS. Porsi poundsterling saat ini bahkan hanya 5% saja di cadangan devisa global.

Ekonom Goldman Sachs, Cristina Tessari mengatakan salah satu tantangan yang dihadapi adalah nilai perdagangan Amerika Serikat yang relatif kecil ketimbang penggunaan dolar AS secara global.

Berdasarkan data dari Statista, nilai ekspor Amerika Serikat di tahun 2020 sebesar US$ 1,43 triliun atau berkontribusi sebesar 8,1% dari total ekspor global. Sementara impor tercatat sebesar US$ 2,4 triliun yang berkontribusi 13,5% dari total impor global.

Dengan nilai perdagangan itu, dibandingkan dengan penggunaan dolar AS sangat dominan dalam perdagangan, ada ruang bagi negara-negara lain untuk menggunakan mata uang alternatif. Sehingga ketergantungan akan dolar AS menjadi berkurang.

Hal yang sama juga diungkapkan Gita Gopinath, wakil direktur Dana Moneter Internasional (IMF). Ia menyatakan sanksi yang diberikan negara-negara Barat ke Rusia dapat membuat fragmentasi sistem finansial global yang bisa merusak dominasi dolar AS.

Gopinath juga mengatakan meningkatnya penggunaan mata uang selain dolar AS dalam perdagangan akan membuat bank sentral mendiversifikasi cadangan devisa mereka. Artinya porsi dolar AS akan dikurangi, yang sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir.

Data terbaru dari IMF menunjukkan porsi dolar AS di cadangan devisa global mengalami penurunan menjadi 59% di kuartal IV-2021. Sementara euro masih stabil di kisaran 21%, yen 6% dan poundsterling 5%.

Yang menunjukkan kenaikan signifikan adalah mata uang non-tradisional, selain yang disebutkan di atas. Termasuk di dalamnya ada yuan China, yang porsinya di cadangan devisa global mengalami kenaikan konsisten, saat ini berada di kisaran 10%. Itu artinya, bank sentral sudah mulai mengurangi porsi dolar AS di cadangan devisanya, dan beralih ke mata uang alternatif.

Indonesia sendiri sudah mulai mengurangi ketergentungan dolar AS dengan menerapkan kebijakan Local Currency Settlement (LCS), yakni penyelesaian transaksi perdagangan antara dua negara yang dilakukan dalam mata uang masing-masing negara di mana setelmen transaksinya dilakukan di dalam yurisdiksi wilayah negara masing-masing

Bank Indonesia (BI) sudah menjalin kesepakatan dengan bank sentral Malaysia, Thailand, Jepang dan China. Nilia transaksi menggunakan LCS juga terus mengalami kenaikan. Sepanjang 2021 nilainya sekitar US$ 2,5 miliar dan BI menargetkan tahun ini akan mengalami kenaikan 10%. 

Target tersebut kemungkinan besar akan terlewati, sebab nilai transaksi LCS pada periode Januari - April sudah sebesar US$ 1,1 miliar, atau melesat lebih dari 96% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama